Buku: Dua Belas Pasang Mata
Dua Belas Pasang Mata akan menghangatkan hati kita, mencabik-cabiknya, lalu merangkulnya kembali. Heartwarming and heart wrenching.
[Tulisan ini mengandung bocoran dari isi buku]
Novel ini mengikuti perjalanan Ibu Guru Oishi yang mengajar di Desa Tanjung, sebuah desa miskin di tepi laut. Perjalanan 16 kilometer bolak balik ditempuh Ibu Oishi dengan sepeda agar bisa bertemu murid-muridnya. Pembaca diajak melihat hubungan Bu Oishi dan 12 muridnya bertumbuh, bagaimana perjalanan kehidupan mengubah nasib mereka masing-masing.
Buku ini pertama terbit di tahun 1952 ketika Sakae Tsuboi, penulisnya, berusia 53 tahun. Kita bisa menduga kalau novel ini adalah bagian dari pengalaman hidupnya sebagai sebagai seorang perempuan dan ibu di tengah masa perang. Narasi anti-perang yang kuat tergambar lewat Ibu Oishi.
“Jaga diri kalian-baik. Jangan ‘mati terhormat’. Pulanglah dengan selamat.”
Begitu katanya ketika melepas murid-murid lelakinya pergi berperang.
Saat suaminya tewas di laut sebagai tentara, Ibu Oishi menggerutu melihat lencana kecil “Gugur Sebagai Bunga Bangsa” yang dikirimkan sebagai tanda “terima kasih” atas pengorbanan suaminya.
“Sang janda ‘pahlawan’ berdiri di situ sejenak, memandanginya — sebuah tanda ‘kehormatan’ kecil sebagai penukar nyawa seorang manusia.”
Tentu kita tahu pada akhirnya, Jepang kalah dalam perang. Bu Oishi (dan mungkin Sakae Tsuboi), tidak peduli jika negaranya kalah, ia hanya ingin tidak ada lagi anak muda yang harus mati.
Membaca Dua Belas Pasang Mata terasa seperti menonton Grave of the Fireflies. Seita dan Setsuko kehilangan orang tua dan pada akhirnya kehilangan nyawa mereka. Ibu Oishi menghadapi kematian murid-murid, suami, dan anak perempuannya. Ia bertahan hidup pada akhir cerita, namun rasa duka itu tidak pernah meninggalkannya. Sakae Tsuboi mencoba mengakhiri novelnya dengan sebuah harapan karena natur manusia adalah bertahan dan bangkit kembali. Sebuah akhir yang lebih ramah bagi hati audiensnya dibandingkan Grave of the Fireflies.
Kedua media ini menceritakan horor perang yang sama namun dengan caranya masing-masing: keluarga yang tercerai-berai, kematian dalam sunyi, kelaparan, sampai semua daya dan upaya yang dikerakan untuk bertahan hidup. Pembahasan perang dalam film Grave of the Fireflies dan buku Dua Belas Pasang Mata memang sangat disederhanakan. Ini bukan media yang secara komprehensif menyajikan jawaban dan penjelasan atas perang. Keduanya adalah kisah sederhana yang ingin mengingatkan harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat karena perang. Keduanya ingin mengingatkan kita akan betapa rapuh dan berharganya hidup manusia. Keduanya berharap agar ini tidak terulang kembali.
Rote, 19 Februari 2024
- Erzsa Sula
Judul: Dua Belas Pasang Mata (Twenty Four Eyes)
Penulis: Sakae Tsuboi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2021